Tulisan edisi gemes. Maaf kalo nggak runtut.
Zaman saya kuliah dulu, internet itu masih seperti barang mewah. Jangankan internet, saya ingat, saya pernah beli flashdisk 256 MB dan harganya lebih dari 200K (tahun 2005). Itu flashdisk, apa kabar modem? Smartphone mahal, dan se-smart–smart-nya phone waktu itu, nggak ada apa-apanya dibanding smartphone zaman sekarang. Jadi, waktu itu, untuk orang yang nggak punya modem, pilihannya ya cuma ke warnet (dan atau ke lab komputer kampus/ sekolah, jika difasilitasi). Itulah kenapa internet waktu itu belum se-accessible sekarang. Belum semua orang ngerti dan butuh internet.
Time goes by. Perkembangan teknologi terjadi dengan sangat pesat. Sekarang smartphone murah, laptop juga murah. Nggak perlu modem khusus untuk dapat mengakses internet, semua dapat dilakukan dengan smartphone kita. Paket data murah. Nggak punya paket data, wifi dimana-mana. Internet jadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari hidup kita.
Yang disayangkan adalah, kecepatan perkembangan teknologi ini nggak sebanding dengan kecepatan orang untuk memahami bahwa tidak semua yang kita baca di internet itu benar. Some of them are true, but many of them are hoaxes. Sebelum membahas lebih jauh tentang ini, saya bahas dulu secara singkat tentang pengertian ‘hoax‘.
Kata ‘hoax‘ sudah ada sejak akhir abad ke-18. Kemungkinan, ‘hoax‘ adalah kependekan dari ‘hocus‘, yang salah satu artinya adalah “deceive someone” (menipu seseorang). Kata ‘hoax‘ sendiri dapat menjadi kata kerja maupun kata benda. Jika menjadi kata kerja, ‘hoax‘ dapat didefinisikan sebagai “trick or deceive someone” (mengecoh atau menipu seseorang). Sementara itu, sebagai kata benda, ‘hoax‘ berarti “a humorous or malicious deception“ (penipuan, baik itu lelucon maupun ada niat jahat di dalamnya). Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa hoax itu — apapun niatannya — pasti mengandung unsur penipuan. Sesuatu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Baca lebih lanjut →